Senin, 26 September 2011

EMPAT KEBENARAN MULIA

Empat Kesunyataan Mulia

Pembabaran Dharma pertama kali Buddha kepada 5 (lima) orang pertapa yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta memiliki arti yang sangat penting. Pada khotbah tersebut Buddha menguraikan tentang Empat Kesunyataan Mulia, khotbah yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencapai pencerahan. Empat Kebenaran Mulia tersebut menjadi landasan bagi ajaran-ajaran yang lebih tinggi. Struktur empat kebenaran tersebut selaras dengan praktik dokter dalam mengobati pasiennya. Tahapan tersebut meliputi : (1) diagnosis penyakit, (2) identifikasi penyakitnya, (3) menentukan apakah penyakit bisa diobati dan (4) menguraikan langkah-langkah pengobatan atas penyakit yang timbul tersebut.

Dalam Anggutara Nikaya, Sabda Buddha :
“Bisa ditemukan makhluk yang dapat terbebas dari menderita penyakit jasmaniah selama setahun, dua tahun atau sepuluh tahun, bahkan mungkin seratus tahun. Tetapi sulit menemukan makhluk yang dapat terbebas dari penyakit batiniah walau sesaat saja, kecuali ia yang telah mengatasi batinnya.”

Hukum Empat Kesunyaan Mulia, terdiri dari :
1.    Dukkha
2.    Dukkha Samudaya
3.    Dukkha Nirodha
4.    Dukkha niroda gamitipipada

I.    DUKKHA,
Pengertian dukkha tidak sama dengan penderitaan. Dukkha menunjukkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak memuaskan atau tidak sempurna dan kebalikkan dari apa yang kita harapkan. Sifat kehidupan yang berubah-ubah membuat kita mengalami ketidakpuasan batin, kehilangan dan kekecewaan.

Buddha tidak mengingkari adanya ragam bentuk kebahagiaan, baik materi maupun spiritual.  Dalam Anggutara nikaya tercantum daftar kebahagiaan, seperti kebahagiaan dari kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan dari kehidupan bertapa ; kebahagiaan dari kesenangan indrawi dan kebahagiaan dari pelepasan duniawi ; kebahagiaan dari kemelekatan dan kebahagiaan dari ketidakmelekatan dan sebagainya. Mengapa agama Buddha lebih menekankan aspek dukkha dalam kehidupan ? Menurut agama Buddha untuk melampaui penderitaan itu memerlukan penilaian dan pengkajian realistis secara menyeluruh pada kehadiran dari aspek dukkha di segenap corak kehidupan.

Penderitaaan ini dapat timbul karena : Ketidakpastian (Jabatan, kecantikan, kekayaan dan kehidupan) ; tidak ada kepuasan ; harus berpisah dengan tubuh jasmani berulang kali ; harus terlahir berulang-ulang (Kehilangan kedudukan berulangkali) ; akhir Pertemuan – perpisahaan ; kekayaan – kehancuran ; kelahiran – kematian) dan tidak ada teman (pada saat lahir, meninggal dan menderita)

Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Samyutta Nikaya III : 158, sebagai berikut :
“(1) Lahir adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, sakit adalah dukkha, mati adalah dukkha ; (2) dukacita, ratapan, keluhan, kesedihan, ketidaksenangan dan keputusasaan adalah dukkha ; berkumpul dengan sesuatu yang tidak disukai adalah dukkha, terpisah dari sesuatu yang kita sukai adalah dukkha ; (4) singkat kata, lima agregat (yang membentuk manusia) adalah dukkha.

Dukkha dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) aspek, yaitu :
1.    Dukkha sebagai derita biasa
Penderitaan ini meliputi penderitaan dalam bentuk fisik maupun mental. Hal ini dapat terjadi karena (a)    Kehidupan di alam manapun tidak kekal, (b) Kehidupan di alam manapun tidak memiliki perlindungan, (c) Kehidupan di alam manapun tidak memiliki inti dan (d)    Kehidupan di alam manapun tidak lengkap, tidak memuaskan dan diperbudak oleh hawa nafsu

2.    Dukkha sebagai akibat perubahan
Penderitaan yang dirasakan ketika terjadinya perubahan. Perubahan dari 8 (delapan kondisi dunia).
3.    Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantungan
Penderitaan yang  timbul dari muncul dan lenyap terus menerus pada seluruh keberadaan. Setiap unsur jasmani dan batin selalu muncul dan lenyap, berproses dari masa muda ke masa dewasa, masa dewasa ke masa tua dan masa tua ke kematian. Keadaan tersebut terdiri dari 2 (dua), yaitu :
a.    Rupa Khandha (padat, cair, panas dan gerak)
b.    Nama Khandha (perasaan, pencerapan, kelompok bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran)
Yang memberikan keberadaan dan membentuk kepribadiaan seseorang. Kelompok kehidupan tersebut selalu berubah dan tidak kekal.

II.    DUKKHA SAMUDAYA
Pada khotbah pertamanya Buddha menjelaskan asal mula penderitaan sebagai berikut :
“Nafsu keinginan ini adalah yang mengakibatkan kelahiran kembali disertai kesenangan dan kemelekatan, mencari kesenangan pada saat ini, baik di tempat ini maupun tempat lainnya...”

Tanha (nafsu Keinginan) tersebut, yang terdiri dari :
1.    Kama tanha
•    Menurut indriya dan materi, yaitu Keinginan dari (nafsu indriya, bentuk dan alam tidak bentuk)
•    Menurut Indriya dan kehidupan, yaitu Kehausan akan (bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan bentuk-bentuk pikiran)
2.    Bhava Tanha (nafsu keiginan untuk melanjutkan kehidupan) pada Rupa Tanha, arupa tanha
3.    Vibhava Tanha (Pemusnaan diri)

Tanha secara harfiah berarti kehausan dan secara jelas mengacu pada nafsu keinginan yang kuat atau dorongan yang terus menerus untuk berusaha memuaskan seluruh nafsu keinginan indrawi yang kita miliki.

Hal inilah yang menimbulkan berbagai penderitaan. Ada orang yang keliru memahami tanha sebagai segala jenis keinginan. Padahal ia lebih mengacu kepada pengertian keinginan rendah, seperti : keserakahan dan hawa nafsu. Tetapi masih banyak buku yang menuliskan sebagai keinginan saja, seolah-olah agama Buddha hanya mengajarkan seseorang untuk mematikan keinginan dan menjadikan seperti robot aau manusia yang dingin, kaku dan tidak berperasaan. Ini  menimbulkan salah penafsiran terhadap agama Buddha.

Tanha adalah akar dari dukkha dan siklus kelahiran kembali yang tiada hentinya (Digha Nikaya II : 308). Menurut Majjima Nikaya I : 508, seseorang yang masih belum dapat melepaskan diri dari keterikatan terhadap nafsu keinginan, saat sedang menikmati apa yang telah didapatinya, ia terbakar oleh kegelisahan akan keinginan-keinginan hal lainnya, sehingga ia akan terus-menerus mengejar semua nafsu-nefsu keinginannya. Semakin nafsu keinginan dikejar, ia semakin melekat dan semakin menuntut untuk dipenuhi. Hal ini hanya akan menimbulkan kenikmatan sekejab, seperti seorang penderita kusta dimana kaki dan tangannya membusuk karena digerogoti kuman penyakit, semakin ia menggaruknya, semakin parah lukanya dan semakin berbau busuk. Padahal garukan tersebut hanya menimbulkan kenikmatan sekejab.

III.    DUKKHA NIRODA
Dalam Samyutta Nikaya IV : 47, Buddha bersabda :
“Apapun yang memiliki sifat dasar berupa kemunculan, disana juga terdapat sifat dasar penghentian.

Dalam Udana Nikaya disebutkan penderitaan tidak dapat mendatangi orang-orang yang berpikiran kokoh, yang tidak melekat kepada benda-benda, tidak marah oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan.

Dhammapada 186-187 menyebutkan :
“Bukan dalam hujan uang emas dapat ditemukan kepuasan nafsu indera. Nafsu indera hanya merupakan kesenangan sekejab yang mebuahkan penderitaan. Bagi orang bijaksana yang dapat memahami, hal itu tidak membuatnya bergembira bila mendapatkan kesenangan surgawi sekalipun. Siswa yang maha sempurna bergembira dalam penghancuran nafsu-nefsu keinginan.

Ketika tanha dan musabah terkait lainnya berakhir, maka dukkha pun berhenti. Ini sama dengan Nirwana yang juga dikenal seabagai “tak dikondisikan” tujuan tertinggi dalam agama Buddha. Nirwana hanya dapat dicapai dengan penghentian segala nafsu keinginan.

IV.    DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA
IV.1. Pandangan Benar
Pandangan benar yang bersifat suci adalah kearifan yang tertinggi, pengetahuan yang menembus ke dalam sifat-sifat sejati dari realitas dalam bentuk kilasan-kilasan penembusan mendalam, penglihatan langsung. Ini tidak berdasarkan pada konsep-konsep ‘Eksistensi’ atau ‘non eksistensi’ karena keduanya adalah pandangan spekulatif, melainkan penembusan ke dalam jalan tengah dari kemunculan berkondisi. Ini memberikan pemahaman benar yang melihat : (1) bagaimana dunia muncul menurut kondisi-kondisi, sehingga ‘non eksistensi’ tidak berlaku padanya ; dan (2) bagaimana dunia berhenti dari penghentian kondisi-kondisi sehingga ia juga tidak mempunyai ‘eksistensi’ kekal yang substansial.

Pandangan benar (memahami hidup sebagaimana sebenarnya), meliputi Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani), Tiga Corak Umum (Tilakkhana), Lima Hukum Semesta (Panca Niyama), Hukum Sebab-Akibat Moral (Kamma-Vipaka) dan Musabab yang Saling Bergantung (Paticcasamuppada)

IV.2. Pikiran benar (terlepas dari hawa nafsu, kekejaman, dendam)
Pikiran dapat membuat kita menderita atau bahagia. Dalam Dhammpada disebutkan : Khayaan, ketakutan dan pemikiran obsesional merupakan masalah besar bagi kita. Kita cenderung terfokus pada pola-pola pikir yang tidak sehat dan terus ditanamkan ke dalam kesadaran yang membawa kita ke jalur ketidakbahagiaan. Buddha menunjukkan jalan keluar dari pola ini, cara mengarahkan pikiran-pikiran kita ke arah pemikiran positif dan berguna.

Buddha mengarahkan kita kepada 3 (tiga) pikiran benar, yaitu merelakan atau kemurahan hati dalam arti yang tertinggi, persahabatan dan belas kasih.

IV.3. Ucapan benar
(terlepas dari berbohong, fitnah, kata-kata kotor dan bicara tidak pada waktunya), meliputi : menghindarkan diri dari berdusta, menghindarkan diri dari memfitnah, menghindarkan diri dari berkata kasar dan menghindarkan diri dari omong kosong

IV.4. Perbuatan benar
(terlepas dari pembunuhan, penganiyaan, pencurian dan perbuatan asusila). Aspek perbuatan Menghindarkan diri dari membunuh, menghindarkan diri dari mencuri dan menghindarkan diri dari berperilaku asusila.

Menurut Anggutara Nikaya ada 5 (lima) penyebab orang melakukan perbuatan buruk, yaitu : keserakahan, kebencian, kegelapan batin, tidak bersimpatik dan pemikiran diarahkan secara salah. Sebaliknya ada 5 (lima) penyebab orang melakukan perbuatan baik, yaitu : kemurahan hati, cinta kasih, kebijaksanaan, smpati dan pikiran diarahkan dengan baik.

IV.5. Mata pencaharian benar
Meninggalkan penghidupan yang merugikan makhluk lain, yaitu berdagang: senjata, makhluk hidup, daging, racun dan minuman keras.

Dalam menekuni bidang pekerjaan hendaknya kita tidak menghambat perkembangan batin. Kita dapat menilai suatu pekerjaan memenuhi mata pencaharian benar ada 3 (tiga) tahapan, yaitu :
i.    Kita periksa pekerjaan tersebut apakah membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain.
ii.     Kita pertimbangkan apakah memnyebabkan kita melanggar salah satu dari kelima prinsip tersebut di atas
iii.    Kita pertanyakan apakah pekerjaan menjadikan kita sulit menjadi tenang.

Satu-satunya cara hidup yang benar adalah cara hidup dari mereka yang telah sempurna – orang yang telah melenyapkan segala ketamakan, kebencian dan menipu diri. Tetapi kita yang berada pada jalan menuju kesempurnaan masih dapat berbuat banyak untuk mengharmoniskan kehidupan pekerjaan dengan batin kita.

Dalam Dhammapada 84 Buddha bersabda :

IV.6. Daya Upaya benar  
-    Upaya menghindari hal buruk yang belum muncul
-    Upaya menanggulangi hal buruk yang sudah muncul
-    Upaya mengembangkan hal baik yang belum muncul
-    Upaya mempertahankan hal baik yang sudah muncul

IV.7. Perhatian benar
(penerapan dan pengembangan kesadaran badan jasmani, perasaan pikiran, bentuk-bentuk mental)
•    Perenungan terhadap tubuh (Kayanupassana)
•    Perenungan terhadap perasaan (Vedananupassana)
•    Perenungan terhadap pikiran (Cittanupassana)
•    Perenungan terhadap fenomena (Dhammanupassana)

IV.8. Konsentrasi benar
1.     Konsentrasi Persiapan (Parikamma Samadhi)
Konsentrasi umum ketika seseorang memberi perhatian pada suatu objek.
2.      Konsentrasi Mendekati (Upacara Samadhi)
Konsentrasi yang mapan dan cukup mendalam pada suatu objek. Konsentrasi Sementara (Khanika Samadhi) pada Meditasi Vipassana.
3.    Konsentrasi Pencapaian (Appana Samadhi)
Konsentrasi terserap penuh pada suatu objek. Dalam konsentrasi ini, berbagai tataran jhana tercapai.

Jalan Tengah menghindari dua ekstrem:
1. Pemanjaan kesenangan indrawi
    - usaha mengatasi derita dengan cara memuaskan nafsu keinginan
    - rendah, umum, duniawi, tidak mulia, tidak membawa pada tujuan

2. Penyiksaan diri
    - usaha mencapai pembebasan dengan cara menyakiti tubuh
    - menyakitkan, tidak mulia, tidak membawa pada tujuan

2 komentar: