Senin, 26 September 2011

EMPAT KEBENARAN MULIA

Empat Kesunyataan Mulia

Pembabaran Dharma pertama kali Buddha kepada 5 (lima) orang pertapa yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta memiliki arti yang sangat penting. Pada khotbah tersebut Buddha menguraikan tentang Empat Kesunyataan Mulia, khotbah yang memberikan kesempatan kepada orang untuk mencapai pencerahan. Empat Kebenaran Mulia tersebut menjadi landasan bagi ajaran-ajaran yang lebih tinggi. Struktur empat kebenaran tersebut selaras dengan praktik dokter dalam mengobati pasiennya. Tahapan tersebut meliputi : (1) diagnosis penyakit, (2) identifikasi penyakitnya, (3) menentukan apakah penyakit bisa diobati dan (4) menguraikan langkah-langkah pengobatan atas penyakit yang timbul tersebut.

Dalam Anggutara Nikaya, Sabda Buddha :
“Bisa ditemukan makhluk yang dapat terbebas dari menderita penyakit jasmaniah selama setahun, dua tahun atau sepuluh tahun, bahkan mungkin seratus tahun. Tetapi sulit menemukan makhluk yang dapat terbebas dari penyakit batiniah walau sesaat saja, kecuali ia yang telah mengatasi batinnya.”

Hukum Empat Kesunyaan Mulia, terdiri dari :
1.    Dukkha
2.    Dukkha Samudaya
3.    Dukkha Nirodha
4.    Dukkha niroda gamitipipada

I.    DUKKHA,
Pengertian dukkha tidak sama dengan penderitaan. Dukkha menunjukkan segala sesuatu yang tidak menyenangkan, tidak memuaskan atau tidak sempurna dan kebalikkan dari apa yang kita harapkan. Sifat kehidupan yang berubah-ubah membuat kita mengalami ketidakpuasan batin, kehilangan dan kekecewaan.

Buddha tidak mengingkari adanya ragam bentuk kebahagiaan, baik materi maupun spiritual.  Dalam Anggutara nikaya tercantum daftar kebahagiaan, seperti kebahagiaan dari kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan dari kehidupan bertapa ; kebahagiaan dari kesenangan indrawi dan kebahagiaan dari pelepasan duniawi ; kebahagiaan dari kemelekatan dan kebahagiaan dari ketidakmelekatan dan sebagainya. Mengapa agama Buddha lebih menekankan aspek dukkha dalam kehidupan ? Menurut agama Buddha untuk melampaui penderitaan itu memerlukan penilaian dan pengkajian realistis secara menyeluruh pada kehadiran dari aspek dukkha di segenap corak kehidupan.

Penderitaaan ini dapat timbul karena : Ketidakpastian (Jabatan, kecantikan, kekayaan dan kehidupan) ; tidak ada kepuasan ; harus berpisah dengan tubuh jasmani berulang kali ; harus terlahir berulang-ulang (Kehilangan kedudukan berulangkali) ; akhir Pertemuan – perpisahaan ; kekayaan – kehancuran ; kelahiran – kematian) dan tidak ada teman (pada saat lahir, meninggal dan menderita)

Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Samyutta Nikaya III : 158, sebagai berikut :
“(1) Lahir adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, sakit adalah dukkha, mati adalah dukkha ; (2) dukacita, ratapan, keluhan, kesedihan, ketidaksenangan dan keputusasaan adalah dukkha ; berkumpul dengan sesuatu yang tidak disukai adalah dukkha, terpisah dari sesuatu yang kita sukai adalah dukkha ; (4) singkat kata, lima agregat (yang membentuk manusia) adalah dukkha.

Dukkha dapat dikelompokan dalam 3 (tiga) aspek, yaitu :
1.    Dukkha sebagai derita biasa
Penderitaan ini meliputi penderitaan dalam bentuk fisik maupun mental. Hal ini dapat terjadi karena (a)    Kehidupan di alam manapun tidak kekal, (b) Kehidupan di alam manapun tidak memiliki perlindungan, (c) Kehidupan di alam manapun tidak memiliki inti dan (d)    Kehidupan di alam manapun tidak lengkap, tidak memuaskan dan diperbudak oleh hawa nafsu

2.    Dukkha sebagai akibat perubahan
Penderitaan yang dirasakan ketika terjadinya perubahan. Perubahan dari 8 (delapan kondisi dunia).
3.    Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantungan
Penderitaan yang  timbul dari muncul dan lenyap terus menerus pada seluruh keberadaan. Setiap unsur jasmani dan batin selalu muncul dan lenyap, berproses dari masa muda ke masa dewasa, masa dewasa ke masa tua dan masa tua ke kematian. Keadaan tersebut terdiri dari 2 (dua), yaitu :
a.    Rupa Khandha (padat, cair, panas dan gerak)
b.    Nama Khandha (perasaan, pencerapan, kelompok bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran)
Yang memberikan keberadaan dan membentuk kepribadiaan seseorang. Kelompok kehidupan tersebut selalu berubah dan tidak kekal.

II.    DUKKHA SAMUDAYA
Pada khotbah pertamanya Buddha menjelaskan asal mula penderitaan sebagai berikut :
“Nafsu keinginan ini adalah yang mengakibatkan kelahiran kembali disertai kesenangan dan kemelekatan, mencari kesenangan pada saat ini, baik di tempat ini maupun tempat lainnya...”

Tanha (nafsu Keinginan) tersebut, yang terdiri dari :
1.    Kama tanha
•    Menurut indriya dan materi, yaitu Keinginan dari (nafsu indriya, bentuk dan alam tidak bentuk)
•    Menurut Indriya dan kehidupan, yaitu Kehausan akan (bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan dan bentuk-bentuk pikiran)
2.    Bhava Tanha (nafsu keiginan untuk melanjutkan kehidupan) pada Rupa Tanha, arupa tanha
3.    Vibhava Tanha (Pemusnaan diri)

Tanha secara harfiah berarti kehausan dan secara jelas mengacu pada nafsu keinginan yang kuat atau dorongan yang terus menerus untuk berusaha memuaskan seluruh nafsu keinginan indrawi yang kita miliki.

Hal inilah yang menimbulkan berbagai penderitaan. Ada orang yang keliru memahami tanha sebagai segala jenis keinginan. Padahal ia lebih mengacu kepada pengertian keinginan rendah, seperti : keserakahan dan hawa nafsu. Tetapi masih banyak buku yang menuliskan sebagai keinginan saja, seolah-olah agama Buddha hanya mengajarkan seseorang untuk mematikan keinginan dan menjadikan seperti robot aau manusia yang dingin, kaku dan tidak berperasaan. Ini  menimbulkan salah penafsiran terhadap agama Buddha.

Tanha adalah akar dari dukkha dan siklus kelahiran kembali yang tiada hentinya (Digha Nikaya II : 308). Menurut Majjima Nikaya I : 508, seseorang yang masih belum dapat melepaskan diri dari keterikatan terhadap nafsu keinginan, saat sedang menikmati apa yang telah didapatinya, ia terbakar oleh kegelisahan akan keinginan-keinginan hal lainnya, sehingga ia akan terus-menerus mengejar semua nafsu-nefsu keinginannya. Semakin nafsu keinginan dikejar, ia semakin melekat dan semakin menuntut untuk dipenuhi. Hal ini hanya akan menimbulkan kenikmatan sekejab, seperti seorang penderita kusta dimana kaki dan tangannya membusuk karena digerogoti kuman penyakit, semakin ia menggaruknya, semakin parah lukanya dan semakin berbau busuk. Padahal garukan tersebut hanya menimbulkan kenikmatan sekejab.

III.    DUKKHA NIRODA
Dalam Samyutta Nikaya IV : 47, Buddha bersabda :
“Apapun yang memiliki sifat dasar berupa kemunculan, disana juga terdapat sifat dasar penghentian.

Dalam Udana Nikaya disebutkan penderitaan tidak dapat mendatangi orang-orang yang berpikiran kokoh, yang tidak melekat kepada benda-benda, tidak marah oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan.

Dhammapada 186-187 menyebutkan :
“Bukan dalam hujan uang emas dapat ditemukan kepuasan nafsu indera. Nafsu indera hanya merupakan kesenangan sekejab yang mebuahkan penderitaan. Bagi orang bijaksana yang dapat memahami, hal itu tidak membuatnya bergembira bila mendapatkan kesenangan surgawi sekalipun. Siswa yang maha sempurna bergembira dalam penghancuran nafsu-nefsu keinginan.

Ketika tanha dan musabah terkait lainnya berakhir, maka dukkha pun berhenti. Ini sama dengan Nirwana yang juga dikenal seabagai “tak dikondisikan” tujuan tertinggi dalam agama Buddha. Nirwana hanya dapat dicapai dengan penghentian segala nafsu keinginan.

IV.    DUKKHA NIRODHA GAMINIPATIPADA
IV.1. Pandangan Benar
Pandangan benar yang bersifat suci adalah kearifan yang tertinggi, pengetahuan yang menembus ke dalam sifat-sifat sejati dari realitas dalam bentuk kilasan-kilasan penembusan mendalam, penglihatan langsung. Ini tidak berdasarkan pada konsep-konsep ‘Eksistensi’ atau ‘non eksistensi’ karena keduanya adalah pandangan spekulatif, melainkan penembusan ke dalam jalan tengah dari kemunculan berkondisi. Ini memberikan pemahaman benar yang melihat : (1) bagaimana dunia muncul menurut kondisi-kondisi, sehingga ‘non eksistensi’ tidak berlaku padanya ; dan (2) bagaimana dunia berhenti dari penghentian kondisi-kondisi sehingga ia juga tidak mempunyai ‘eksistensi’ kekal yang substansial.

Pandangan benar (memahami hidup sebagaimana sebenarnya), meliputi Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani), Tiga Corak Umum (Tilakkhana), Lima Hukum Semesta (Panca Niyama), Hukum Sebab-Akibat Moral (Kamma-Vipaka) dan Musabab yang Saling Bergantung (Paticcasamuppada)

IV.2. Pikiran benar (terlepas dari hawa nafsu, kekejaman, dendam)
Pikiran dapat membuat kita menderita atau bahagia. Dalam Dhammpada disebutkan : Khayaan, ketakutan dan pemikiran obsesional merupakan masalah besar bagi kita. Kita cenderung terfokus pada pola-pola pikir yang tidak sehat dan terus ditanamkan ke dalam kesadaran yang membawa kita ke jalur ketidakbahagiaan. Buddha menunjukkan jalan keluar dari pola ini, cara mengarahkan pikiran-pikiran kita ke arah pemikiran positif dan berguna.

Buddha mengarahkan kita kepada 3 (tiga) pikiran benar, yaitu merelakan atau kemurahan hati dalam arti yang tertinggi, persahabatan dan belas kasih.

IV.3. Ucapan benar
(terlepas dari berbohong, fitnah, kata-kata kotor dan bicara tidak pada waktunya), meliputi : menghindarkan diri dari berdusta, menghindarkan diri dari memfitnah, menghindarkan diri dari berkata kasar dan menghindarkan diri dari omong kosong

IV.4. Perbuatan benar
(terlepas dari pembunuhan, penganiyaan, pencurian dan perbuatan asusila). Aspek perbuatan Menghindarkan diri dari membunuh, menghindarkan diri dari mencuri dan menghindarkan diri dari berperilaku asusila.

Menurut Anggutara Nikaya ada 5 (lima) penyebab orang melakukan perbuatan buruk, yaitu : keserakahan, kebencian, kegelapan batin, tidak bersimpatik dan pemikiran diarahkan secara salah. Sebaliknya ada 5 (lima) penyebab orang melakukan perbuatan baik, yaitu : kemurahan hati, cinta kasih, kebijaksanaan, smpati dan pikiran diarahkan dengan baik.

IV.5. Mata pencaharian benar
Meninggalkan penghidupan yang merugikan makhluk lain, yaitu berdagang: senjata, makhluk hidup, daging, racun dan minuman keras.

Dalam menekuni bidang pekerjaan hendaknya kita tidak menghambat perkembangan batin. Kita dapat menilai suatu pekerjaan memenuhi mata pencaharian benar ada 3 (tiga) tahapan, yaitu :
i.    Kita periksa pekerjaan tersebut apakah membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain.
ii.     Kita pertimbangkan apakah memnyebabkan kita melanggar salah satu dari kelima prinsip tersebut di atas
iii.    Kita pertanyakan apakah pekerjaan menjadikan kita sulit menjadi tenang.

Satu-satunya cara hidup yang benar adalah cara hidup dari mereka yang telah sempurna – orang yang telah melenyapkan segala ketamakan, kebencian dan menipu diri. Tetapi kita yang berada pada jalan menuju kesempurnaan masih dapat berbuat banyak untuk mengharmoniskan kehidupan pekerjaan dengan batin kita.

Dalam Dhammapada 84 Buddha bersabda :

IV.6. Daya Upaya benar  
-    Upaya menghindari hal buruk yang belum muncul
-    Upaya menanggulangi hal buruk yang sudah muncul
-    Upaya mengembangkan hal baik yang belum muncul
-    Upaya mempertahankan hal baik yang sudah muncul

IV.7. Perhatian benar
(penerapan dan pengembangan kesadaran badan jasmani, perasaan pikiran, bentuk-bentuk mental)
•    Perenungan terhadap tubuh (Kayanupassana)
•    Perenungan terhadap perasaan (Vedananupassana)
•    Perenungan terhadap pikiran (Cittanupassana)
•    Perenungan terhadap fenomena (Dhammanupassana)

IV.8. Konsentrasi benar
1.     Konsentrasi Persiapan (Parikamma Samadhi)
Konsentrasi umum ketika seseorang memberi perhatian pada suatu objek.
2.      Konsentrasi Mendekati (Upacara Samadhi)
Konsentrasi yang mapan dan cukup mendalam pada suatu objek. Konsentrasi Sementara (Khanika Samadhi) pada Meditasi Vipassana.
3.    Konsentrasi Pencapaian (Appana Samadhi)
Konsentrasi terserap penuh pada suatu objek. Dalam konsentrasi ini, berbagai tataran jhana tercapai.

Jalan Tengah menghindari dua ekstrem:
1. Pemanjaan kesenangan indrawi
    - usaha mengatasi derita dengan cara memuaskan nafsu keinginan
    - rendah, umum, duniawi, tidak mulia, tidak membawa pada tujuan

2. Penyiksaan diri
    - usaha mencapai pembebasan dengan cara menyakiti tubuh
    - menyakitkan, tidak mulia, tidak membawa pada tujuan

BERAGAM SEKTE-SEKTE AGAMA BUDDHA


Beragam Sekte-Sekte Agama Buddha
Sekte-Sekte Agama Buddha

Buddha Dharma atau Ajaran Buddha hanya satu.Apakah itu Theravada , Mahayana , ataupun Tantrayana (Vajrayana).Theravada itu sendiri bisa digolongkan dalam aliran Hinayana (Kereta Kecil) sedangkan Mahayana dan Tantrayana digolongkan ke dalam aliran Mahayana (Kereta Besar)Semuanya merupakan satu kesatuan dengan bermacam-macam dan metoda-metoda yang diperkenalkan kepada umat manusia agar terlepas dari penderitaan dan menuju pembebasan (Nirvana).

Seperti yang kita ketahui,Secara umum garis-garis besar ajaran Sang Buddha dapat diringkaskan sebagai berikut :

I. Tri Ratna (Buddha,Dharma,Sangha). Sebagai sendi dasar ajaran Buddha dimana umat berlindung kepadaNya.

II. Empat Kebenaran Mulia dan Delapan Jalan Utama.

III. Tiga Corak umum dari alam Fenomena
a.Anicca / Anitya ( Semua yang berkondisi adalah tidak kekal)
b.Dukkha ( Semua yang berkondisi adalah tidak memuaskan)
c.Anatta / Anatma( Semua yang berkondisi ataupun tidak adalah Tanpa
Inti dan mengalami perubahan)

IV. Hukum Pattica Sammupadda/Pratityasamudpada : Hukum tentang sebab dan akibat yang saling bergantungan.


V. Hukum karma dan kelahiran kembali.

Ajaran-ajaran tersebut secara universal diterima oleh umat Buddha diseluruh dunia baik dari aliran Mahayana maupun Hinayana.

Perkembangan Tradisi Ajaran Buddha Setelah Sang Buddha Parinirvana

Beberapa abad setelah Parinirvana Sang Buddha,maka muncullah 4 golongan besar yang semuanya menyatakan perwakilan asli ajaran Sang Buddha.Golongan-golongan ini muncul bukan karena berbeda dalam ajaran Sang Buddha,tetapi hanya perbedaan dalam penafsiran.Ada yang cocok dengan penafsiran ini dan ada yang cocok dengan penafsiran itu tergantung dengan kecocokan penafsiran dalam Buddha Dharma. 4 golongan besar inilah muncul 18 aliran dan inilah sejarah atau akar dari aliran-aliran Hinayana maupun Mahayana.
I.Golongan Sarvastivada (Berbahasa Sanskerta) terbagi menjadi :
1. Mula-Sarvastivadin
2. Kasyapiya
3. Mahasasaka
4. Dharmagupta
5. Bahusrutiya
6. Tamrasatiya
7. Vibhajyavada

II.Golongan Sammatiya (Berbahasa Apabhramsa) terbagi menjadi :
8. Kaurukullaka
9. Avantaka
10. Vatsiputriya

III.Golongan Mahasanghika (Berbahasa Prakrit/Pali) terbagi menjadi :
11. Purvasila
12. Aparasila
13. Haimavata
14. Lokottaravada
15. Prajnaptivada

IV.Golongan Sthavira (Berbahasa Paisaci) terbagi menjadi :
16. Mahaviharavasin
17. Jetavaniya
18. Abhayagirivasin

Hal-hal tersebut disesuaikan dengan izin Sang Buddha untuk mencatat atau mengingat dengan kanon atau bahasa mereka masing-masing,seperti yang tertera dalam Cullavaga V,33,1 (Anujanami,bhikave,sakaya-nituttiya buddhavacanam pariyapunitum)

Dari 4 golongan besar inilah muncul Tradisi Hinayana dan Mahayana.Pada dasarnya tradisi Mahayana timbul dari ajaran Sang Buddha bahwa setiap Individu memiliki potensi ke-Buddha-an dan percaya mereka dapat mencari keselamatan atau mencapai pencerahan melalui campur tangan Makhluk Agung Dhyani Buddha(Cosmic Buddha)ataupun Boddhisatva.Karena cinta kasih (metta-karuna) sebagai landasan maka Mahayana bisa menunda KeBudhaaan mereka sendiri sampai mereka telah menolong makhluk lain menuju pembebasan.Tradisi Hinayana(Theravada) berkata bahwa potensi ini dapat disadari melalui usaha individual untuk mencapai berbagai tahap kesucian sampai ketahap kesucian tertinggi yaitu Arahat.

Berbagai penafsiran yang berbeda ini secara doktrin sama sekali tidak ada pertentangan.Mereka bebas untuk menafsirkan ayat-ayat suci ataupun sutta/sutra menurut pemahaman mereka.Baik Tradisi Mahayana ataupun Hinayana(Theravada) adalah satu dalam penerimaan mereka akan Sang Buddha dan AjaranNya sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai Nirvana(Nibbana).

Persamaan yang sangat jelas diantara kedua Tradisi ini adalah :
1.Keduanya menerima Sang Buddha Sakyamuni sebagai Sang Guru.
2.Keduanya menerima Empat Kebenaran Ariya.
3.Keduanya menerima Jalan Ariya Beruas Delapan.
4.Keduanya menerima Paticca Samuppada (Sebab Akibat Yang Bergantungan)
5.Keduanya menerima Hukum Karma.
6.Keduanya menerima Anicca,Dukkha,Anatta dan Sila Samadhi Panna tanpa
Perbedaan apapun.
7.Keduanya menolak gagasan suatu makhluk adikuasa yang menentukan takdir
Ataupun yang memerintah dan menciptakan dunia ini.
8.Keduanya menolak kepercayaan adanya Jiwa Abadi.
9.Keduanya menerima tumimbal lahir setelah kematian.
10.Keduanya menerima doktrin Devaloka(alam Dewa) dan Brahmaloka.
11.Keduanya berlindung pada Tri Ratana/Tri Ratna(Buddha,Dharma,Sangha)
12.Keduanya menerima Nirvana/Nibbana sebagai pencapaian akhir.

Sekte-Sekte Agama Buddha

Setelah kita memahami adanya 2 Tradisi besar didalam Ajaran Buddha maka sesuai dengan daerah dan tempat,tradisi itu juga berkembang dengan berbagai sekte-sekte.
Dalam Tradisi Hinayana muncul 2 sekte yaitu :
1. Sekte Abhidharma-Kosa ( Ci She Cung / Kusa)
Aliran ini adalah pewaris dari aliran Sarvastivada di India,dengan berdasarkan karya sastra yang ditulis oleh YM.Vashubandu yaitu Abhidharma Kosa Sastra
serta kitab-kitab Abhidharma dari aliran Sarvastivada dan Maha Vaibasha Sastra.Aliran ini lebih mengutamakan penyelidikan Abhidharma.Secara Filosofis sekte ini digolongkan Realistis.Mereka menekankan bahwa segala macam Sankhara dan alam fenomena memang bereksistensi walaupun segala macam sankhara dan fenomena ini dicengkeram oleh Anitta,Dukkha,Anatta.
Sejak tahun 383 Masehi hingga tahun 654 Masehi sekte ini berkembang di daratan Tiongkok berkat usaha Paramartha,Kumarajiva, dan Suan Cuang.
Pada tahun 658 Masehi sekte ini diperkenalkan ke Jepang.

2. Sekte Satyasiddhi ( Chen Se Cung / Jiojice)
Aliran ini termasuk golongan Sautarantika di India.Berdasarkan karya Harivarman (250 M ? 350 M) yang berjudul Satyasiddhi Sastra.
Aliran ini berbeda dengan aliran Abhidharma Kosa.Karena mereka menyangkal adanya eksistensi Sankhara dan alam fenomena.Ini digolongkan aliran Nihilistik dari Hinayana.Antara tahun 411 dan 412 M Kumarajiva menterjemahkan sastra ini kedalam bahasa Tionghoa dan mulai dikembangkan.Pada tahun 658 M seorang Biksu dari Korea memperkenalkan ajaran ini ke Jepang.

Dalam Tradisi Mahayana muncul 9 sekte yaitu.
1. Sekte Yogacara/Dharmalaksa/Vijnanavada (Wei She Cung/Hoso)
Di India sekte ini disebut Yogacara atau Vijnanavada.Bermula dari Arya Asanga abad V Masehi yang menyusun Yogacarabhumi Sastra (Yu Cia She Ti Luen).Sastra lainnya yang ditulis beliau adalah Mahayana Samparigraha Sastra (She Ta Chen Luen).Terjemahan ke dalam bahasa Tionghoanya di lakukan oleh Buddhasanta,Paramartha dan Suan Cuang.
Isi dari sastra-sastra tersebut menerangkan : Vijnana Citta,Sad Paramitha,Sila Samadhi,Prajna serta Dasabhumi dan Tri-Kaya.
Aliran ini adalah suatu sekte Mahayana yang khusus menganalisa tentang objek-objek mental dan fenomena,sehingga sukar dimengerti oleh awam.Adanya 5 kelompok dan 100 dharma(Keberadaan Elemen/Mental)

Kelompok I : 8 Cittadharma (mind)
Kelompok II : 51 Caitasika Dharma (mental function)
Kelompok III : 11 Rupa Dharma (Form-Element)
Kelompok IV : 24 Citta Viprayukta (Sankhara- Things not associated with
- Mind)
Kelompok V : 6 Asankrta Dharma (non created elements)

Jadi keseluruhan ada 100 Dharma.
Aliran Yogacara ini juga berpedoman pada Sandhi Nirmocana Sutra, Dasabhumi Ka Sastra,Vijnapti Matrada Sidhi karya Dharmapala terjemahan Suan Cuang.Pada Masa Sekarang Sekte ini hanya dipelajari di perguruan tinggi Buddhis dan hanya terbatas pada kaum intelektual saja.

DANA

D A N A


I.   Pendahuluan
   Hampir semua orang tentu mengerti bila kita mengatakan istilah berdana
   Yang artinya secara umum yaitu memberikan sesuatu untuk membantu orang lain yang memerlukan.  Tetapi apakah makna berdana hanya demikian saja ? Apakah tidak ada lagi makna nya yang lain ? Nah, untuk mengetahui lebih jelasnya tentang berdana ini ,dan juga tentang  adanya  pandangan salah mengenai  “ Berdana “ yang ditinjau dari pandangan agama Buddha.
      Kamma, menurut agama Buddha artinya perbuatan. Setiap orang pasti melakukan suatu perbuatan ( kamma ) dan perbuatan yang dilakukan tentu mempunyai motif-motif tertentu,dimana motif itu sendiri juga sudah merupakan suatu perbuatan. Menurut agama Buddha, motif ini dapat terbagi menjadi motif yang baik ( tiga akar perbuatan baik ) dan motif yang tidak baik ( tiga akar perbuatan Jahat ).  Motif yang baik terdiri dari alobha ( tidak dengan keserakahan ),adosa ( tidak dengan kebencian ) dan Amoha ( tidak dengan kegelapan batin ); sedangkan motif yang tidak baik terdiri dari Lobha ( keserakahan ),dosa ( kebencian ) dan moha ( kegelapan batin ).
      Setiap orang yang  berbuat sesuatu pasti tidak terlepas dari motif-motif tersebut di atas. Tentu saja idealnya kita hendaknya selalu berbuat dengan motif yang baik, tetapi biasanya dalam setiap melakukan tindakan kita cenderung untuk melakukannya dengan motif yang buruk, dengan tanpa kita sadari lagi karena hal itu sudah merupakan suatu kebiasaan yang biasa kita lakukan.
      Dalam Agama Buddha diajarkan untuk mencapai kebahagiaan, hendaknya kita jangan berbuat jahat,tambahkanlah selalu kebaikan,dan sucikanlah batin atau pikiran.
   Hal ini dimaksudkan supaya seseorang hendaknya selalu melatih berbuat dengan motif yang baik .  Tetapi bagaimanakah cara melatih hal itu ?
      Perbuatan yang paling mudah untuk mengurangi  tiga akar perbuatan jahat ini (khususnya Lobha) yaitu dengan cara berdana. Pengertian berdana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama adalah merupakan cara untuk menunjang menyembuhkan penyakit batin manusia yang disebut Lobha. Dalam beberapa ajaran beliau,dana selalu diletakkan  pada urutan pertama, misalnya dalam dasa Paramita ( Sepuluh Kebajikan ) dan di dalam Dasa Punna Kiriyavatthu ( Sepuluh Jalan Perbuatan Baik ).
      Memang, Kenyataannya demikian berdana adalah suatu perbuatan yang paling mudah untuk kita laksanakan.Siapa saja dapat berdana, mulai dari anak kecil sampai orang dewasa; mulai dari orang kaya sampai orang miskin sekalipun.  Mungkin kita bertanya mengapa orang miskin dapat pula berdana ?  Ingat, Pengertian  dana dalam agama Buddha bukan hanya berbentuk materi saja tetapi bisA pula berupa bantuan tenaga dan pemberian maaf.
      Orang miskinlah yang justru dianjurkan untuk banyak berdana karena untuk mengimbangi kamma buruknya yang sekarang sedang berbuah, jadi kita salah bila mengatakan bahwa orang miskin tidak perlu berdana..Perlu kita ketahui bahwa nilai serta manfaat suatu dana tidak hanya ditentukan oleh besar kecilnya dana itu saja tetapi juga ditentukan oleh kesungguhan hati ( kehendak ) kita pada saat kan berdana ( Pubba Cetana ),sewaktu berdana ( Munca Cetana ) dan saat sesudah  berdana ( Apara cetana ); serta factor-factor lainnya lagi.  Jika ketiga tahapan tersebut misalnya kita lakukan dengan hati yang berbahagia maka  akan semakin besar pulalah nilai dana tersebut; dan sebaliknya bila kita lakukan dengan penyesalan, maka nilai dari dana itupun akan berkurang..
      Tetapi walaupun kita sudah tahu bahwa berdana itu adalah suatu  kebajikan yang paling mudah untuk dilakukan, namun pada kenyataannya masi banyak orang khususnya umat Buddha yang tidak mau berdana.  Jika mereka berdana, masih banyak yang berdana karenanya adanya pamrih tertentu atau karena terpaksa. Mereka masih juga berpikir dan menganggap bahwa mereka sendiri  masih kekurangan harta benda,sehingga kalau berdana maka hartanya menjadi berkurang.
      Padahal seharusnya kita menyadari bahwa selama ini kita msih hidup sebagai manusia, biasanya kita tidak akan pernah puas akan sesuatu ; sehinnga kita juga bisa menyadari bahwa dengan berdana tidak akan menyebabkan harta kita menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, dengan berdana kita berarti telah menambah kamma baik kita yang kelak akan berbuah kebahagiaan pada diri kita.
  
II.   Pengertian Berdana
   Dalam Pandangan masyarakat umum, dana diartikan sebagai  pemberian atau pertolongan dengan
   Memberikan materi ( bersifat kebendaan ) kepada orang lain yang memerlukan,sedangkan bantuan lainnya yang bukan berupa materi, belum dapat dikatakan sebagai dana,tetapi hanya dikatakan sebagai bantuan biasa saja.
      Dalam Agama Buddha, yang dimaksud dengan dana adalah pemberian yang tulus ikhlas untuk menolong makhluk lain, artinya memberikan pertolongan tanpa pamrih berupa materi,tenaga,maupun pemberian maaf dan rasa aman. Dana dalam agama Buddha tidak dipaksakan,hanya dianjurkan dan termasuk salah satu dari sepuluh perbuatan baik ( Dasa punna Kiriyavatthu ) yang dapat dilaksanakan oleh umat Buddha.
  
III.   Bentuk-Bentuk Dana
   Menurut bentuk yang didanakan,dana terbagi menjadi 3 bagian,yaitu :
   Amisa Dana
   Artinya berdana berupa benda ( barang) atau materi, contoh berdana uang,pakaian,makanan,obat-obatan,dll
Dhamma Dana
   Artinya dana berupa dhamma atau ajaran (nasehat),contoh seorang bhikkhu mengajarkan tentang hokum kebenaran; seorang guru mendidik murid-muridnya; orang tua yang menasehati anaknya,dll.
Abhaya Dana
   Artinya berdana dengan memaafkan,yaitu berupa ampunan ( pemberian maaf ) dan tidak membenci.  Juga dalam hal ini termasuk memberikan rasa aman kepada makhluk lain dari mara bahaya. Contoh : memaafkan teman yang bersalah kepada kita ;membebaskan makhluk lain yang sedang menderita, misalnya menolong anjing yang sedang kejepit kayu dll.
      Jadi banyak cara yang dapat dilaksanakan untuk dapat mewujudkan dana, bias dengan amisa dana,dhamma dana,atau abhaya dana.  Oleh sebab itu dana tidak harus berupa barang atau materi saja seperti yang dikatakan oleh pandanmgan masyarakat pada umumnya.  Bahkan di dalam Dhammapada,Sang Buddha sendiri bersabda sebagai berikut : ”Sabba danam dhammadanam jinati ”yang artinya dana yang dilaksanakan melalui ajaran kebenaran  akan melebihi dana yang dilaksanakan dengan cara lainnya.  Maka bila kita dapat melaksanakan dana dengan melakukan penyebaran kebenaran ( Dhamma ),kita akan memperoleh jasa yang paling mulia, tetapi memang tidak semua orang dapat mengajarkan dhamma dengan baik dan benar.
  
IV.   Kualitas Dana
a.   Menurut Tingkatan manfaatnya
   Menurut tingkatan manfaatnya,maka suatu dana dapat kita bedakan menjadi empat bagian,yaitu :
   1.Pemberian yang besar dengan manfaat yang kecil ( sedikit )
      Contohnya  dalam hal ini yaitu orang-orang yang membunuh binatang untuk di korbankan kapada para dewa dengan disertai perayaan yang besar dan segala macam upacara persembahyangan.  Hal ini memerlukan biaya yang besar tetapi pahala atau kebaikan untuk mereka yang melaksanakan sangatlah sedikit.
   2. Pemberian yang kecil dengan manfaat yang kecil.
       Contohnya dalam hal ini yaitu seorang yang kaya tetapi Ia sangat kikir sehingga tidak mau berdana dengan banyak ( padahal dia mampu ) dan setulus hati.
   3. Pemberian yang kecil dengan manfaat yang besar
       Contohnya dalam hal ini yaitu  seorang yang  miskin yang memberikan dananya dengan jumlah yang sedikit ( karena batas kemampuannya memang hanya sampai di situ ) tetapi dia berdana dengan tulus hati dan tanpa pamrih.
   4. Pemberian yang besar dengan manfaat yang juga besar
       Contohnya yaitu seorang hartawan yang mendanakan sebagian hartanya guna kepentingan orang banyak, misalnya dengan mendirikan vihara,panti asuhan dsb-nya yang semuanya itu dilakukan dengan hati yang tulus dan pamrih.
  
   b. Menurut kehendak ( Cetananya )
      Berdasarkan kehendak ( cetananya) berarti bahwa ada niat yang baik dalam berdana tersebut.  Dalam hal ini berdana bukan sekedar untuk formalitas,pamer kekayaan, mencari  nama,promosi diri atau dagangan,menjilat dsb.  Kehendak baik di sini mencakup tiga masa,yaitu :
   1.Sebelum berdana  
         Sebelum berdana, seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh ketulusan dan keriaan, dengan berpikir misalnya “Saya sedang menanam harta benda sebagai sebab kekayaan yang dapat di bawa serta “
   2. Sewaktu berdana
      Sewaktu berdana seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh keyakinan dengan berpikir misalnya “ Saya sedang membuat manfaat suatu harta yang tidak begitu bernilai”.
   3. Setelah berdana
      Setelah berdana seseorang hendaknya mengembangkan pikiran yang penuh keiklasan dan kepuasan, dengan berpikir misalnya “Saya telah melakukan kebajikan yang dipujikan oleh para bijaksana.

C.   Menurut Mutu Barang Yang Didanakan
     Berdasarkan mutu barang yang didanakan,maka suatu dana dapat dibedakan menjadi 3 bagian,sebagai
     berikut :
I.   Berdana Barang yang buruk,yang diri sendiri sudah tidak mau memakainya lagi.  Banyak barang buruk  yang sudah kita tidak perlukan lagi misalnya baju yang sudah tidak kita pakai lagi;ini dapat kita berikan kepada orang lain yang membutuhkannya.  Tetapi dalam memberikan barang tersebut kita harus memiliki rasa sopan santun dan memiliki rasa perikemanusiaan. Artinya dalam memberikan  barang tersebut kita harus dapat memperkirakan barang tersebut memang masih dapat digunakan ( masih layak ) oleh orang yang membutuhkan. Janganlah kita berdana barang yang sudah terlampau buruk, misalnya pakaian yang sudah compang camping sehingga sudah  tidak layak dipakai lagi.

II.   Berdana barang yang baik sebaik diri sendiri memakainya.  Contohnya bila kita mempunyai buku lebih dari satu sedangkan teman kita  tidak mempunyai, maka sebagai teman hendaknya memberikan salah satunya kepada teman tersebut.  Dengan demikian kita telah berbuat baik dan kita akan merasa senang bila teman kita senang menerima buku itu.

III.   Berdana barang yang lebih baik daripada yang kita pakai sendiri.  Berdana barang yang lebih baik daripada yang kita pakai sendiri jarang dijumpai dalam kehidupan ini. Biasanya  orang hanya mau berdana barang yang sudah buruk atau yang sama seperti yang dipakai dirinya sendiri; tetapi ada juga orang yang mau berdana barang yang lebih baik daripada  yang dipakainya sendiri.  Bila hal ini memang dilakukan dengan tulus,maka orang yang memiliki sikap demikian sangatlah terpuji.  Ia dapat dikatakan memiliki jiwa sosial yang tinggi bila misalnya Ia membangun sekolahan yang bagus dan baru kepada masyarakat yang membutuhkan, sedangkan rumahnya sendiri cukup sederhana.

d. Menurut motif tujuannya
    Menurut motif tujuannya, maka suatu dana dapat terbagi sebagai berikut :
1. Hina Dana
   Dana yang bersifat rendah, yaitu dengan mengharapkan kemasyuran,kekayaan dsb.
     2. Majjhima Dana
   Dana yang bersifat menengah misalnya dengan keinginan untuk dapat terlahirkan di alam surga.
3.Panita Dana
   Dana yang bersifat luhur, dengan tujuan untuk meraih pembebasan sejati.

e. Menurut Kemurniaan dari Pemberi dan Penerima dana
   Didalam Dakkhina vibhanga Sutta, Sang Buddha menyebutkan bahwa nilai suatu dana tergantung juga kepada kelakuan dari orang yang menerima dana maupun yang memberi dana.
1.   Kemurniaan Pemberi bukan kemurniaan dari Penerima
Artinya yang memberi dana mempunyai kelakuan yang baik, bermoral sedangkan yang menerima tidak demikian.
2.   Kemurnian Penerima bukan pemberi
Dalam hal ini Penerima dana adalah adal;ah orang yang bermoral serdangkan pemberinya tidak demikian.
3.   Tidak Murni dari pemberi dan Penerima
Artinya baik pemberi dan penerimanya tidak bermoral.
4.   Yang Murni dari Pemberi dan Penerima
Baik yang memberi dana dan yang menerimanya bermoral semuanya.

f.   Menurut yang patut  menerima dana
Dalam Agama Buddha, Dana patut diberikan kepada siap saja yang memerlukan, namun selain hal tersebut , dikenal pula tentang adanya lapangan yang subur untuk menanam jasa,artinya bila yang kita berikan dana adalah merupakan  lapangan yang subur untuk menanam jasa, maka dana tersebut dapat  memberikan hasil yang besar bagi yang berdana.
   Didalam Dakkhina Vibhanga Sutta, Majjhima Nikaya, dikisahkan bahwa Maha Pajapati Gotami berniat untuk mempersembahkan sepasang jubah  baru yang dibuatnya sendiri kepada sang Buddha Gotama.  Tetapi sang Buddha menganjurkan agar persembahan ini dialihkan kepada Sangha secara umum.  Ananda Thera karena tidak tahu , berusaha membujuk agar mau menerimanya, dengan memperingatkan jasa Mahapajapati Gotami yang pernah menyusui serta merwat beliau semasa kecil.  Menaggapi hal ini, sang Buddha Gotama kemudian menjelaskan bahwa ada 14 macam persembahan yang ditujukan kepada Pribadi tertentu (Patipuggalika Dakkhina),yaitu :
1.   Samma Sambuddha
2.   Pacceka Buddha
3.   Arahat ( Arahatta phala )
4.   Mereka yang berpraktek untuk meraih kearahatan ( Arahatta Magga)
5.   Anagami ( Anagami  Phala )
6.   Mereka yang berpraktek untuk meraih keanagamian  ( Anagami  Magga)
7.   Sakadagami ( Sakadagami Phala )
8.   Mereka yang berpraktek untuk meraih kesakadagamian ( Sakadagami  Magga )
9.   Sotapanna ( Sottapati Phala )
10.   Mereka yang berpraktek untuk meraih kesotappanaan ( Sottapati  Magga )
11.   Orang Non Buddhis yang telah melenyapkan nafsunya ( Orang yg memiliki Jhana)
12.   Orang biasa ( awam )yang bermoral ( yang mempunyai kesilaan )
13.    Orang biasa ( awam )yang tidak bermoral ( yang jelek kesilaannya )
14.   Binatang/hewan
   Dengan berdana kepada binatang /  hewan, seseorang dapat mengharapkan pahala sebanyak 100 kali.
   Dengan berdana kepada orang awam yang jelek kesusilaanya,…..Pahalanya sebanyak 1000 kali.
   Dengan berdana kepada awam yang mempunyai  kesilaan, pahalanya sebnyak 100,000 kali
       Dengan berdana kepada orang non buddhis  yang telah melenyapkan nafsunya, pahalanya  sebanyak 10,000,000 kali.
   Dengan berdana kepada mereka yang berpraktek utuk  meraih kesotapannaan…….Pahala yang tak terhitung ,tak terhingga.
Apalagi jika dana tersebut dipersembahkan kepada mereka yang  tingkatannya lebih luhur, pahalanya tidak terbayangkan lagi.
   Dari orang yang menerima dana, maka tempat yang merupakan lapangan  jasa yang tiada taranya dialam semesta ini adalah Sangha.  Buddha Gotama selanjutnya menjelaskan bahwa  ada 7 macam sangha yang bisa kita berikan dana persembahan ( Sangha dana ) yaitu :
1. Sangha Bhikkhu dan sangha  Bhikkhuni saat Sang buddha ( Samma sambuddha ) sebagai  
   pimpinan sangha
2. Sangha Bhikkhu dan sangha  Bhikkhuni sesudah Sang buddha ( Samma sambuddha ) sebagai
    pimpinan sangha
3. Sangha Bhikkhu saja
4. Sangha Bhikkhuni  saja
5. Sangha yang terdiri  dari para bhikkhu dan bhikkuni dalam jumlah terbatas ( sejumlah bhikkhu dan bhikkhuni dari Sangha.
6. Sangha yang terdiri  dari para bhikkhu dalam jumlah terbatas (  Beberapa bhikkhu                                yang disediakan oleh sangha )
7. Sangha yang terdiri  dari para   bhikkuni dalam jumlah terbatas (  Beberapa bhikkhuni  yang  disediakan oleh  Sangha )

Demikian uraian yang terdapat di dalam Dakkhina Vibhanga Sutta.  Pada masa mendatang, hanya akan ada  Bhikkhu “Gotrabhu dengan jubah tersampirkan di leher yang jelek kesilaannya  dan menganut ajaran  salah.  Beliau tidak menyatakan bahwa Patipuggala dana ( yang tetuju pada pribadi) mempunyai pahala yang lebih besar daripada  dana yang ditujukan kepada Sangha.  Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa dalan keadaan bagaimanapun, pahala Sangha dana jauh melampaui Patipuggala dana.

Jadi Sangha merupakan lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya, hal ini juga disebutkan di dalam Sanghanussati ( Perenungan terhadap Sangha ) yang berbunyi sebaga berikut : “ Anuttaram Punnakkhetam Lokassa “ yang berarti Sangha adalah Lapangan untuk menanam jasa yang tiada tara baiknya di alam semesta ini.

Sangha merupakan ladang untuk berdana yang paling baik sebab yang lain yaitu karena dana yang kita berikan kepada sangha akan disalurkan kembali oleh para bhikkhu sangha untuk kepentingan agama dan umat , misalnya untuk melengkapi sarana dalam mengajarkan dhamma; yang bisa berguna untuk menunjang pelestarian buddha dhamma.  Pokoknya semuanya merupakan suatu penyaluran dana atau pemanfaatan dana yang tepat.

Selain Sangha yang merupakan lapangan untuk menanam jasa, maka seperti yang tadi telah diuraikan di dalam Dakkhina Vibhanga Sutta, kita dapat pula memberikan dana kepada obyek-obyek lainnya yang memang patut atau pantas menerima dana, misalnya yaitu :

1.   Dana yang diberikan kepada orang yang melaksanakan sila, seperti misalnya para bhikkhu sekarang ini; bahkan ini termasuk berdana kepada Sangha.
2.   Dana yang diberikan kepada Orang Tua ( Ayah dan Ibu )
3.   Dana yang diberikan kepada orang yang belum berpenghasilan, misalnya mereka yang belum mempunyai pekerjaan lalu kita sokong untuk sementara waktu.
4.   Dana yang diberikan kepada mereka yang memang sedang membutuhkan bantuan, misalnya kepada orang yang sedang terkena musibah, dsbnya

 
III.   Bentuk-Bentuk Dana
   Menurut bentuk yang didanakan,dana terbagi menjadi 3 bagian,yaitu :
   Amisa Dana
   Artinya berdana berupa benda ( barang) atau materi, contoh berdana uang,pakaian,makanan,obat-obatan,dll
Dhamma Dana
   Artinya dana berupa dhamma atau ajaran (nasehat),contoh seorang bhikkhu mengajarkan tentang hokum kebenaran; seorang guru mendidik murid-muridnya; orang tua yang menasehati anaknya,dll.
Abhaya Dana

Apakah ada yang tahu mengenai amisa-dana, abhaya-dana dan dhamma-dana, terdapat di sutta mana atau mungkin di kitab komentar mana?

Thanks

KHUDDAKA-NIKAYA


Khuddaka-Nikaya

          Pembagian dalam buku-buku kecil seperti diterangkan oleh Buddhaghosa. Ia memberikan dua daftar isi yang dalam salah satunya tidak terdapat karya pertama, tetapi sutta-sutta tertentu di dalamnya sebagian besar terdapat pula pada bagian lain dalam Tipitaka. Nikaya ini muncul secara bertahap dengan pengumpulan koleksi-koleksi yang tidak terdapat dalam Nikaya-Nikaya lama. Nikaya ini tidak ditemukan dalam Kitab Suci aliran-aliran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, meskipun ada terjemahan tersendiri dalam bahasa Cina dari sebagian besar isinya.
1. Khuddaka-patha. “Bacaan dari bagian-bagian singkat” yang memuat
1. Saranattaya. Pengulangan tiga kali berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.
2. Dasasikkhapada. Sepuluh sila yang harus dipatuhi oleh para bhikkhu. Lima sila pertama harus dipatuhi oleh umat biasa.
3. Dvattimsakara. Daftar 32 unsur pokok Badan jasmani.
4. Kumarapañha. Sepuluh macam tanya-jawab untuk para samanera.
5. Mangala-sutta. Sebuah syair untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah kebahagiaan tertinggi itu.
6. Ratana-sutta. Sebuah syair mengenai Tiratana dalam hubungannya untuk menerangkan kepada para makhluk halus.
7. Tirokudda-sutta. Syair mengenai sajian untuk roh (mahluk peta) keluarga yang sudah meninggal.
8. Nidhikanda-sutta. Syair tentang pengumpulan harta sejati.
9. Metta-sutta. Syair tentang cinta kasih.
2. DHAMMAPADA. “Kata-kata dari Dhamma”, kumpulan 423 bait dalam 26 vagga.
3. Udana. Kumpulan dari 80 udana dalam delapan vagga, yakni pengutaraan Sang Buddha pada kesempatan-kesempatan tertentu. Kumpulan ini sebagian besar dalam bentuk syair dan disertai cerita prosa mengenai keadaan-keadaan yang menyebabkan vagga-vagga ini.
1. Bodhi-Vagga. Menggambarkan kejadian-kejadian tertentu setelah pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha, termasuk khotbah termasyhur kepada Bahiya yang menekankan kehidupan pada waktu sekarang.
2. Mucalinda. Vagga ini dinamai menurut nama raja Naga yang melindungi Sang Buddha dengan kepalanya.
3. Nanda. Sang Buddha meyakinkan saudara tirinya, Nanda, tentang kehampaan hidup duniawi. Juga, memuat nasihat-nasihat kepada Sangha.
4. Meghiya. Tanpa memperdulikan nasihat Sang Buddha, Meghiya mengasingkan diri ke sebuah hutan mangga untuk berlatih meditasi, tetapi batinnya segera diserang dengan pikiran-pikiran tidak baik. Setelah kembali kepada Sang Buddha, ia diberitahukan bahwa lima faktor harus ditumbuhkan oleh orang yang batinnya belum berkembang – persahabatan yang baik, moralitas, percakapan yang menguntungkan, keteguhan hati, dan pengetahuan. Juga, memuat cerita-cerita Sundari dan serangan terhadap Sariputta oleh seorang yakkha.
5. Sonathera. Memuat kisah kunjungan Raja Pasenadi kepada Sang Buddha, khotbah kepada Suppabuddha yang menderita penyakit kusta, penjelasan mengenai delapan ciri Sasana dan tahun pertama dari kehidupan Sona sebagai bhikkhu.
6. Jaccandha. Memuat gambaran tentang Sang Buddha akan mencapai parinibbana, percakapan Pasenadi, dan kisah raja yang menyuruh orang-orang yang buta sejak lahir (jaccandha) untuk masing-masing meraba dan menggambarkan seekor gajah – untuk membantu menjelaskan realisasi sebagian dari kebenaran.
7. Cula. Memuat peristiwa-peristiwa kecil, terutama mengenai para bhikkhu secara perorangan.
8. Pataligama. Memuat definisi termasyhur dari Nibbana sebagai yang tak dilahirkan, tidak menjadi, tidak dibuat, tidak dibentuk; santapan Buddha yang terakhir dan nasihatnya kepada Ananda mengenai Cunda, dan kunjungan ke Pataligama tempat Sang Buddha mengungkapkan lima manfaat menempuh kehidupna suci dan lima kerugian tidak melakukan hal itu.
4. Itivuttaka. kumpulan 112 sutta pendek dalam 4 nipata yang masing-masing disertai syair. Syair-syair ini biasanya dimulai dengan kata iti vuccati, “demikian dikatakan”. Karya ini terdiri atas ajaran-ajaran etika dari Sang Buddha:
1. Ekaka-Nipata - tiga vagga Nafsu, kemauan jahat, khayalan, kemarahan, dengki, kesombongan, ketidaktahuan, ketamakan, perpecahan, kedustaan, kekikiran dicela; dan kesadaran, pergaulan dengan orang bijaksana, kerukunan, kedamaian batin, kebahagiaan, ketekunan, kemurahan hati dan cinta kasih dipujikan.
2. Duka – dua vagga. Menjelaskan penjagaan pintu-pintu indria dan kesederhanaan dalam makanan, perbuatan baik, kebiasaan sehat dan pandangan benar, ketenangan dan penyendirian, perasaan malu dan takut, dua jenis Nibbana, dan kebajikan-kebajikan menempuh kehidupan pertapa yang bersemangat.
3. Tika - lima vagga. Mengelompokkan faktor-faktor yang berlipat tiga: akar-akar kejahatan, unsur-unsur, perasaan-perasaan, kehausan, kebusukan, dsb. dan menunjukkan kehidupan sesuai bagi seorang bhikkhu.
4. Catukka. - Mengelompokkan faktor-faktor yang berlipat empat – kebutuhan para bhikkhu, Kesunyataan Mulia, dll. dan menekankan kasucian batin bagi bhikkhu.
5. Sutta-Nipata. “Kumpulan sutta”. Kumpulan ini terdiri atas lima vagga yang memuat 71 sutta. Sutta-sutta, yang masing-masing memuat dari delapan sampai lima puluh syair, berbentuk syair dengan pendahuluan dalam bentuk sajak maupun prosa.
1. Uragavagga
Uraga Sutta. Bhikkhu yang menyingkirkan semua nafsu manusiawi – kemarahan, kebencian, kerakusan, dll. – dan terbebas dari khayalan dan ketakutan, diperbandingkan dengan seekor ular yang telah berganti kulit.
Dhaniya Sutta. Ketenangan duniawi diperbandingkan dengan ketenangan Buddha.
Khaggavisana Sutta. Kehidupan pengembaraan seorang bhikkhu dipujikan – ikatan-ikatan kekeluargaan dan kemasyarakatan dihindari mengingat kemelekatan-kemelekatannya yang bersifat samsara, dengan mengecualikan “sahabat baik” (kalyanamitta).
Kasibharadvaja Sutta. pekerjaan yang berguna secara sosial atau duniawi diperbandingkan dengan usaha-usaha Sang Buddha yang tak kurang pentingnya untuk mencapai Nibbana.
Cunda Sutta. Sang Buddha menguraikan empat jenis samana: seorang Buddha, seorang Arahat, seorang bhikkhu yang bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, seorang bhikkhu penipu.
Parabhava Sutta. “Sebab-sebab kejatuhan seseorang” dalam bidang moral dan batin diuraikan.
Vasala atau Aggika Bharadvaja Sutta. Untuk menyangkal tuduhan “orang buangan”, Sang Buddha menjelaskan bahwa karena perbuatanlah, bukan garis keturunan, orang menjadi orang buangan atau brahmana.
Metta Sutta. Unsur-unsur pokok latihan cinta kasih terhadap semua makhluk.
Hemavata Sutta. Dua orang yakkha ragu-ragu tentang sifat-sifat Buddha yang dinyatakan olehnya. Sang Buddha merumuskan uraiannya dengan menjelaskan jalan pembebasan dari kematian.
Alavaka Sutta. Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yakkha Alavaka mengenai kebahagiaan, pengertian, jalan ke Nibbana.
Vijaya Sutta. Suatu analisa tubuh dalam bagian-bagian pokoknya (yang tidak bersih) dan sebutan bhikkhu yang mencapai Nibbana karena memahami sifat sejati badan jasmani.
Muni Sutta. Konsepsi idealistis seorang muni atau orang bijaksana yang menjalani kehidupan menyepi yang bebas dari nafsu-nafsu.
2. Culavagga.
Ratana Sutta. Nyanyian pujian kepada Tiratana, Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Amagandha Sutta. Kassapa Buddha menyangkal pandangan brahmana tentang kekotoran batin karena memakan daging dan menyatakan bahwa kekotoran batin hanya terjadi karena pikiran jahat dan perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan itu.
Hiri Sutta. Uraian panjang lebar secara ilmiah mengenai persahabatan sejati.
Mahamangala Sutta. Tiga puluh delapan macam berkah diuraikan dalam menempuh kehidupan suci – mulai dengan petunjuk-petunjuk etika dasar dan mencapai puncaknya pada penyelaman Nibbana.
Suciloma Sutta. Untuk menanggapi sikap mengancam dari yakkha Suciloma, Sang Buddha menyatakan bahwa nafsu, kebencian, keraguan, dsb. bermula dengan badan jasmani, keinginan, dan konsep aku.
Dhammacariya Sutta. Seorang bhikkhu hendaknya menjalani kehidupan yang adil dan suci dan menghindari mereka yang suka bertengkar dan mereka yang menjadi budak keinginan.
Brahmanadhammika Sutta. Sang Buddha menjelaskan kepada beberapa orang brahmana tua dan kaya tentang norma-norma moral yang tinggi dari para leluhur mereka dan bagaimana akhlak mereka merosot karena mengikuti ketamakan akan kekayaan raja. Akibatnya, mereka membujuk raja untuk memberikan kurban hewan, dll. untuk memperoleh kekayaan dan dengan demikian kehilangan pengetahuan tentang Dhamma.
Nava Sutta. Dengan memperhatikan sifat guru, orang seharusnya pergi pada orang yang terpelajar dan pandai untuk memperoleh pengetahuan yang dalam tentang Dhamma.
Kimsila Sutta. Jalan dari seorang siswa biasa yang teliti, Dhamma sebagai perhatiannya yang pertama dan terakhir.
Utthana Sutta. Serangan terhadap keengganan dan kemalasan. Meski ditembus oleh panah dukkha, orang seharusnya tidak berhenti sampai semua keingianan terhapus.
Rahula Sutta. Buddha menasihati puteranya yang telah ditahbiskan, Rahula, untuk menghormati orang bijaksana dan bergaul dengan dan berbuat sesuai dengan prinsip-prinsip seorang pertapa.
Vangisa Sutta. Sang Buddha memberi kepastian kepada Vangisa bahwa gurunya yang telah wafat, Nigrodhakappa, telah mencapai Nibbana.
Sammaparibbajaniya Sutta. Jalan seorang siswa sebagai bhikkhu yang teliti dan bersungguh-sungguh: ketidakmelekatan, pembasmian hawa nafsu, pemahaman sifat Samsara.
Dhammika Sutta. Sang Buddha menjelaskan kepada Dhammika kewajiban masing-masing dari seorang bhikkhu dan umat biasa; umat biasa diharapkan untuk mentaati Pancasila dan memperingati hari-hari uposatha.
3. Mahavagga
Pabbajja Sutta. Raja Bimbisara dari Magadha menggoda Sang Buddha dengan kekayaan materinya dan menanyakan garis keturunannya. Sang Buddha menunjukkan kenyataan tentang kelahirannya di antara kaum Sakya dari Kosala dan bahwa ia telah mengatasi sifat khayal dari kenikmatan-kenikmatan indria.
Padhana Sutta. Uraian yang jelas sekali mengenai godaan Mara menjelang pencapaian Penerangan Sempurna oleh Sang Buddha.
Subhasita Sutta. Bahasa para bhikkhu hendaknya baik dalam penuturannya, menyenangkan, tepat dan benar.
Sundarikabharadvaja Sutta. Sang Buddha menjelaskan kepada sang brahmana Sundarika, bagaimana orang memperoleh kehormatan untuk menerima persembahan.
Magha Sutta. Sang Buddha menjelaskan hal tersebut di atas kepada umat bernama Magha dan menjelaskan berbagai jenis berkah karena melakukan persembahan.
Sabhiya Sutta. Sabhiya, seorang pertapa kelana, tidak dapat memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya dari enam guru termasyhur pada waktu itu. Karena itu, ia mendekati Sang Buddha dan menjadi siswa setelah mendapat jawaban-jawaban yang memuaskan atas pertanyaan-pertanyaannya.
Sela Sutta. Seorang brahmana, Sela, berbicara dengan Sang Buddha dan menjadi pengikut Sang Buddha bersama tiga ratus orang pengikutnya.
Salla Sutta. Kehidupan itu berlangsung singkat dan semua kehidupan terancam oleh kematian, tetapi orang bijaksana yang memahami sifat kehidupan tidak merasa takut.
Vasetta Sutta. Dua orang pemuda, Bharadvaja dan Vasettha, membahas masalah martabat brahmana: Bharadvaja mengatakan bahwa seseorang menjadi brahmana karena kelahiran, tetapi Vasettha mengatakan bahwa seseorang menjadi brahmana hanya karena perbuatan. Sang Buddha akhirnya menegaskan pandangan Vasettha sebagai pendapat yang benar.
Kokaliya Sutta.Kokaliya secara keliru menganggap keinginan-keinginan jahat berasal dari Sariputta dan Moggallana dan akhirnya menimbulkan penderitaan – karena kematian dan tumimbal lahir di salah satu alam neraka. Sang Buddha kemudian menyebutkan satu persatu neraka-neraka yang berbeda dan menggambarkan hukuman atas perbuatan mengumpat dan memfitnah.
Nalaka Sutta. Ramalan pertapa Asita mengenai Buddha Gotama yang akan datang. Putera adik perempuannya, Nalaka, memiliki kebijaksanaan tertinggi yang dibentangkan kepadanya oleh Sang Buddha.
Dvayatanupassana Sutta. Dukkha timbul dari substansi, ketidaktahuan, panca khanda, keinginan, kemelekatan, usaha, makanan, dsb.
4. Atthakavagga
Kama Sutta. Untuk menghindari akibat-akibat yang tidak menyenangkan, kenikmatan-kenikmatan indria hendaknya dihindari.
Guhatthaka Sutta. Selain dari hal tersebut di atas, eksistensi fisik hendaknya tidak dipegang erat jika seseorang tertarik untuk mencapai pembebasan dari Samsara.
Dutthathaka Sutta. Orang yang memuji-muji kebajikannya sendiri dan terikat pada pandangan-pandangan dogmatis (yang berbeda dari orang ke orang dan sekte ke sekte) menjalani kehidupan yang terbatas. Namun, seorang pertapa tetap tidak menonjolkan diri sendiri dan lepas dari sitem-sistem kefilsafatan.
Suddhatthaka Sutta. Pengetahuan tentang sistem-sistem kefilsafatan tidak dapat menyucikan seseorang dan terdapat kecenderungan untuk pecah dan berubah, tanpa sama sekali mencapai kedamaian batin. Namun, orang bijaksana tidak disesatkan oleh nafsu dan tidak berpegang erat pada sesuatu dalam Samsara.
Paramatthaka Sutta. Orang hendaknya tidak terlibat dalam perbantahan-perbantahan kefilsafatan. Seorang brahmana sejati tidak berbuat demikian dan mencapai Nibbana.
Jara Sutta. Dari sifat suka mementingkan diri sendiri muncul ketamakan dan kekecewaan. Bhikkhu yang diharapkan, “seorang yang tanpa rumah”, bersikap bebas dan tidak mencari pembersihan melalui orang lain.
Tisa Metteya Sutta. Sang Buddha menjelaskan jenis-jenis akibat yang tidak dikehendaki yang muncul dari kontak-kontak hawa nafsu.
Pasura Sutta. Kebodohan dari perdebatan-perdebatan di mana kedua belah pihak menghina atau mencemoohkan satu sama lain. Jika kalah, mereka menjadi tidak senang. Karena itu, hal itu tidak membawa penyucian.
Magandiya Sutta. Kembali Sang Buddha menekankan kepada Magandiya, seorang yang yakin akan kesucian melalui filsafat, bahwa kesucian hanya dapat terjadi karena kedamaian batin.
Purabheda Sutta. Kelakuan dan ciri-ciri seorang bijaksana sejati: kebebasan dari keserakahan, kemarahan, keinginan, nafsu, dan kemelekatan, dan senantiasa tenang, tenggang rasa, dan bermental seimbang.
Kalahavivada Sutta. Perbantahan dan perdebatan timbul dari obyek-obyek yang dirasakan mendalam, dsb.
Culaviyuha Sutta. Uraian mengenai mazhab-mazhab filsafat yang berbeda semuanya saling bertentangan tanpa menyadari bahwa Kebenaran itu satu.
Mahaviyuha Sutta. Para ahli filsafat hanya memuji diri mereka sendiri dan mengecam orang lain, tetapi seorang brahmana sejati tetap tidak tertarik kepada pencapaian intelektual yang meragukan itu dan karenanya tenang dan damai.
Tuvataka Sutta. Bhikkhu seharusnya memotong akar kejahatan dan keserakahan, mempelajari Dhamma, tenang dan penuh renungan, menghindari obrolan, kemalasan, dsb. dan dengan teliti memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan.
Attadanda Sutta. Orang bijaksana hendaknya tulus, tidak berbohong, sederhana, bebas dari ketamakan dan fitnah, bersemangat dan tanpa keinginan untuk memperoleh nama dan kemasyhuran.
Sariputta Sutta. Lagi-lagi, pada saat ini untuk menjawab pertanyaan Sariputta, Sang Buddha menetapkan prinsip-prinsip yang seharusnya mengatur kehidupan bhikkhu.
Bagian ini terdiri atas enam belas dialog (puccha) antara Sang Buddha dan para brahmana dan bhikkhu pengikut:
Mereka semua menekankan perlunya membasmi keinginan, ketamakan (lobha), kemelekatan, pandangan-pandangan kefilsafatan, kenikmatan indria, kemalasan; dan tetap menjauh, tidak terikat, tenang, penuh perhatian, teguh dalam Dhamma – untuk mencapai Nibbana.
6. Vimanavatthu. “Cerita-cerita mengenai rumah di surga” yang merupakan 85 syair dalam tujuh vagga mengenai pahala dan tumimbal lahir di alam-alam surga.
7. Petavatthu. Terdiri atas 51 syair dalam empat vagga mengenai tumimbal lahir sebagai setan pengembara (peta) karena perbuatan-perbuatan tercela.
8. Theragatha. “Syair tentang para bhikkhu senior” (thera), yang berisi 107 syair (1.279 gatha).
9. Therigatha. “Syair tentang para bhikkhuni senior” (theri), yang berisi 73 syair (522 gatha).
10.Jataka. Jataka atau Cerita Kelahiran merupakan kumpulan yang memuat 547 kisah yang dianggap sebagai cerita tentang kehidupan-kehidupan lampau Sang Buddha. Nidana Katha atau “Cerita tentang Garis Silsilah” adalah ulasan pengantar yang menguraikan kehidupan Sang Buddha sampai pembukaan Vihara Jetavana di Savatthi dan juga kehidupan-kehidupan lampaunya di bawah Buddha-Buddha terdahulu.
11. Niddesa. Terbagi dalam (i) Mahaniddesa. sebuah ulasan mengenai Atthakavagga dari Sutta-Nipata, dan (ii) Culaniddesa, sebuah ulasan mengenai Parayanavagga dan Khaggavisana Sutta yang juga dari Sutta Nipata. Niddesa ini sendiri diulas dalam Saddhammapajjotika dari Upasena dan di situ dihubungkan dengan Sariputta.
12. Patisambhidamagga. Suatu analisa “Abhidhamma” tentang konsep dan latihan yang sudah disebutkan dalam Vinaya Pitaka dan Digha, Samyutta dan Anguttara Nikaya. Ini dibagi dalam tiga bagian: Maha-vagga, Yuganaddha-vagga, dan Pañña-vagga; tiap-tiap vagga memuat sepuluh topik (Katha).Maha-vagga. Pengetahuan tentang ketidakkekalan dan dukkha dari segala sesuatu yang terbentuk; Empat Kesunyataan Mulia; Sebab Musabab yang Saling Bergantungan; empat kelompok alam kehidupan; pandangan keliru, Lima Kemampuan, tiga aspek Nibbana, kamma-vipaka, empat jalan menuju Nibbana.Yuganaddha-vagga. Tujuh Faktor Penerangan, Empat Dasar Kesadaran, Empat Usaha Benar, Empat Kekuatan (kemauan, daya, pikiran, penyelidikan), Delapan Jalan Mulia, empat pahala dari kehidupan bhikkhu (Patticariya) dan Nibbana, 68 jenis kemampuan.Pañña-vagga. Delapan Jenis Kelakuan (Cariya): sikap tubuh (berjalan, duduk, berdiri, berbaring), alat-alat indria, kesadaran, pemusatan pikiran (Jhana), Empat Kesunyataan Mulia, Empat Jalan menuju Nibbana, Empat Pahala dari kehidupan bhikkhu, dan lokattha (untuk meningkatkan kesejahteraan dunia).
13. Apadana. Kisah dalam syair tentang kehidupan lampau dari 550 orang bhikkhu dan 40 orang bhikkhuni.
14. Buddhavamsa. “Riwayat Para Buddha” yang di dalamnya Sang Buddha menuturkan cerita tentang kebulatan hatinya untuk menjadi Buddha, dan mengungkapkan riwayat dua puluh empat Buddha yang mendahuluinya.
15. Cariyapitaka. Tiga puluh lima kisah dari Jataka dalam syair yang melukiskan tujuh dari Sepuluh Kesempurnaan (Dasa Parami) – kemurahan hati, moralitas penglepasan, kebijaksanaan, daya usaha, kesabaran, kebenaran, keteguhan hati, cinta kasih dan keseimbangan batin.